Uighur, Nafas Panjang Perjuangan

- Desember 21, 2018
foreign policy
Oleh: Fahrudin Alwi*


Sezaman dengan Dinasti Han (leluhur Tiongkok), 200 tahun sebelum masehi (SM) untuk pertama kalinya bangsa Turki muncul dengan etnik tersendiri di Xiongnu, wilayah yang berdiaspora menjadi Uighur Xinjiang, Kazakhstan Timur, Kirgizstan Timur, Manchuria Barat, Mongolia, dan Rusia Selatan.[2] Sejarah panjang menceritakan perjalanan penduduk pegunungan Altay itu hingga mulai memeluk Islam di abad-10 M. Kerajaan Uyghur muncul dan terus berkembang hingga di kemudian hari berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tiongkok, Dinasti Qing pada 1759 dan dirubah namanya menjadi Xinjiang yang bermakna new territory –kekuasaan baru—.[3] Satu keterangan tambahan: Uyghur sebagai ‘Turkic ethnic group’ di wilayah Xinjiang disebut sebagai shaoshu minzu atau “minority nationality”. Sementara Han adalah mayoritasnya.

Perjalanan diplomatis yang dinamis (dengan sedikit konflik) antara Uighur Xinjiang dan “Han” berjalan sejak dikuasainya Uyghur oleh Dinasti Qing 1759 hingga Tiongkok modern berdiri. Sebelum Tiongkok menjadi PRC (People’s Republic of China), tepatnya 1940, Uyghur memprakarsai berdirinya Republik Turkistan Timur. Namun di 1949, PRC berdiri dan memasukkan Republik Turkistan Timur menjadi wilayah otonomi PRC dengan sebutan yang sama dengan Dinasti Qing: Xinjiang Uyghur Autonomous Region, the new territory.[4]

Tiongkok modern hadir bersama karakter yang khas dengan value komunis namun memberikan keleluasaan rakyatnya dalam memilih dan bertindak. Termasuk kepada Muslim yang diberikan kebebasan melaksanakan ibadah, menikah, berhaji, dll dengan syariat Islam. Seperti yang tertuang dalam China’s White Paper: “Muslim customs regarding food and drink, clothing, festivals, marriages and funerals are fully respected. The Islamic Association of China organizes for Muslims to go on pilgrimage to Saudi Arabia every year, with the number of participants exceeding 10,000 a year since 2007.”[5] PRC berhasil melaksanakan ini dengan memberikan kebebasan beragama etnis Muslim Tiongkok: Hui dan berbagai diaspora Muslim di dataran Tiongkok. Etnis Hui sendiri memiliki geonologis seperti etnis Han dan memiliki tokoh kuat Laksamana Cheng Ho, pendakwah hingga Nusantara. Namun, ada satu catatan atas inkonsistensi PRC dalam melaksanakan ‘konstitusinya’ sendiri, yakni dengan tidak memberikan kebebasan beragama bagi Muslim Uyghur. Sebuah paradoks. Lihat, “China: Human Right Concern in Xinjiang” oleh Human Right Watch HRW.[6]

Tulisan ini muncul ketika saya mencoba berdiskusi dengan mualaf keturunan Tiongkok dan saya hubungkan dengan mata kuliah ‘History of Ancient Turkey (civilization)’ waktu jadi mahasiswa. Menarik memang menuliskan Uyghur dan Tiongkok, dua etnis Turkic dan China Han dengan karakteristik yang cukup jauh namun harus tinggal di wilayah yang sama selama berabad tahun. Saya akan coba bahas dari sebuah pemicu pertanyaan beberapa kawan mahasiswa muslim baik di Jakarta maupun di daerah, “apa yang bisa kita lakukan untuk Uyghur?” Setidaknya, dari pandangan pribadi, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. 

Pertama, responsif bukan reaktif. Perjuangan Uyghur adalah perjuangan panjang. Dan hanya orang bernafas panjanglah yang akhirnya bisa ikut berjuang. Maka menjadi responsif adalah satu hal yang penting. Memastikan sumber informasi primer dan sekunder menjadi satu hal yang juga penting yang harus dilakukan. Bukan menjadi reaktif dengan sekonyong-konyong menuntut tanpa tahu cara dan resiko. Saya ingin mengambil contoh dari isu Rohingya. Di awal meledaknya isu, ada beberapa bagian masyarakat yang reaktif namun redup di sekian bulan setelahnya. Ada juga cerita sebuah NGO yang masuk secara diam-diam, berhubungan people to people dan mengambil jaminan dari tokoh di Myanmar, hingga akhirnya bisa masuk ke Rakhine dan membangun beberapa sekolah serta memberikan berbagai bantuan lainnya. Tentu berjalan sebagai kolaboratif NGO, karna ia bukan pemain tunggal yang kesepian. NGO tersebut baru mem-publish aktivitasnya 3 bulan kemudian karena mempertimbangkan keselamatan tim yang bekerja di lapangan dan keamanan misi program jangka panjang. InsyaaAllah ini adalah berita yang valid karna saya sekarang mengabdi di NGO yang berhasil menempatkan timnya berbulan-bulan di Rakhine itu. Dan ini salah satu cara responsif yang tidak reaktif, terutama ketika kita melihat PRC sebagai salah satu super-power dunia dan pemerintah Indonesia sedang cukup mesra dalam kerjasama dengan PRC. Tentu di sisi lain, pemerintah Indonesia lebih “berhati-hati”.

Kedua, diplomatis. Setidaknya ada dua jenis diplomasi yang bisa dilakukan oleh kita untuk saat ini: people to people diplomacy (p to p) dan people to government diplomacy (p to g). Saya bersama FSLDK Indonesia sedang mencoba melakukan “p to p” dengan menjalin komunikasi ke salah satu anggota Perkumpulan Muslim Hangzhou, juga seorang mualaf keturunan Tiongkok, dan warga muslim PRC yang sedang belajar di Indonesia. “p to g” juga kami lakukan dengan upaya audiensi dengan Kemenlu RI. Surat audiensi sudah kami masukkan beberapa hari lalu. Plus saya pribadi mewakili FSLDK Indonesia juga bertemu Ibu Retno Menlu RI di sebuah momen, —meski belum sejauh pembicaraan diplomasi Uyghur. Kemenlu RI menjadi lembaga yang kita harapkan bisa membuka akses dan menyuarakan secara soft di meja diplomasi antara RI dan PRC. Juga secara hard, seperti di PBB atau OKI jika dibutuhkan. Diplomasi dunia Islam di belahan dunia lain harapannya mampu memediasi konflik berkepanjangan di Uyghur. Andaikata permainan ‘p to p’ atau ‘p to g’ belum berhasil, secara natural “people’s power” akan bermain.

Dan yang terakhir, melangitkan doa dan mengirimkan donasi terbaik. Poin ketiga ini salah satu yang paling penting. Mengirim dan langitkan doa terbaik untuk saudara kita di Uyghur. Agar Allah beri kesabaran, kekokohan iman, dan kemudahan amal. Juga agar Allah ‘lembutkan’ hati para penguasa PRC. Maka mari jadikan Jumat-Jumat kita sebagai waktu khusus untuk mendoakan saudara kita di Uyghur khususnya, dan belahan dunia pada umumnya. Adapun donasi, sampai sekarang baru bisa mengakses Uyghur di luar Xinjiang. Karena akses ke Uyghur Xinjiang masih sangat rapat tertutup.

Wallahu a’lam bisshawab. Allahu yubaarik fiikum!


• Perception: Next Generation • . What do you think when you look at me? A man of faith? An expert? Or oppressed, brainwashed? Or a terrorist? If some of your perceptions were negative, I don’t really blame you. That’s just how the media has been portraying people who look like me. Haha. Let me tell you who I am. I’m (a) single, a coffee lover —double espresso with caramel on the side, an ambivert, and I’m a practicing, spiritual Muslim. Thank you! . Kan, jadi inget 4 tahun lalu: waktu kontestasi calon Ketua Formasi FIB UI 26 dan diminta memperkenalkan diri pakai English, “Inget, ini FIB, kandang macannya Bahasa Dunia!”. WOW! Even, I’m an Islamic Studies student with Arabic focus. Hehe. Dengan segala hal yang menantang, pesimis dengan kapasitas diri, merasa sangat tidak pantas sebagai calon ketua, de-el-el, pada akhirnya Allah memutuskan sebuah keputusan yang barangkali tidak saya inginkan tapi ternyata saya butuhkan di kemudian hari. . Siapa sih yang pengin jadi ketua, tempat dihujat kalo salah, mengorbankan plan pribadi, diminta gaul ke orang yang gak ingin digauli, dan hal ndak ringan lainnya. Awalnya berat dan berat banget! Tapi setelah dijalani, mungkin ini cara Allah mengasah dan mencoba meng-upgrade kapasitas dan kapabilitas hamba-Nya. . Semangat berjuang, dua adik kewrenque: @saladin_baihaqy dan @ahmzainudin! Yang sejak sebulan lalu, hari ini, dan setahun kedepan sedang dan akan menaklukkan keajaiban kebaikan. Selamat menikmati manifestasi kalam, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak.” . Special thanks untuk PI terkewren F26: @widiarfn, Fajar, @erwinmaula, @khaulahnf, @widiyasetiawati, @aminurhabibah, @nuzuliatiara, @elafitrianii, @ariniyulfarida, @rismawatirahardian, @syifanaf, dan Fate. Juga seluruh tim terbaik @formasifibui 26: Our Epic Voyage! . 📸diambil saat jenggot masih kosong, kumis selalu digunting, dan rambut sedikit lebih rapi. . Allahu yubaarik fiikum! . #Alwif #Formasi #FIB #UI #OurEpicVoyage!
A post shared by Fahrudin D. Alwi (@fahrudin.alwi) on


————————
[1] Fahrudin Alwi, Ketua Puskomnas FSLDK Indonesia 2018; Ketua LDKN Salam UI 2017; Overseas Partnership (International Relation) PKPU Human Initiative 2018.
Instagram: https://www.instagram.com/p/BrmxmtXA5_p/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=ofc9t2mdmp68
Line: https://timeline.line.me/post/_dTi6rRrUcfbSVYkR18jYEiCs3AeIQnXOJOI6XbU/1154530705002028191
Web: http://fsldk.id; http://fsldk.id/author/fahrudin-alwi/

[2] Tulisan Peter Zieme: The Old Turkish Empires in Mongolia, Genghis Khan and His Heirs: The Empire of The Mongol. 2005

[3] Oxford Research Encyclopedias, http://oxfordre.com/asianhistory/view/10.1093/acrefore/9780190277727.001.0001/acrefore-9780190277727-e-160

[4] Sejarah Konflik Uyghur, http://repository.lppm.unila.ac.id/6158/1/364-712-1-PB.pdf

[5] White Paper: China's Policies and Practices on Protecting Freedom of Religious Belief. Kutipan: White Paper Chapter III. Point 5. http://t.m.china.com.cn/convert/c_oEsyxNII.html

[6] China: Human Right Concern in Xinjiang oleh Human Right Watch, https://www.hrw.org/legacy/backgrounder/asia/china-bck1017.htm
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search