Kisah Perjalanan Berhijab Setelah Sekian Lama Tak Percaya Tuhan

- Januari 03, 2019


Hidayah itu harus dijemput. Tidak datang begitu saja. Termasuk hidayah untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah yakni mengenakan hijab.

Hidayah itu pula lah yang dijemput dosen komunikasi Universitas Padjajaran Maimon Herawati. Begini ia menuturkan cerita lengkapnya: 

Teman membagi foto ini. Berarti, kira kira bulan pertama saya berjilbab setelah sekian lama memilih tak percaya pada Tuhan.
Jilbab ungu ini hadiah seorang kakak komplek. Kami sering jalan bersama ke mesjid Ramadhan itu, masa puncak kegalauan saya. Akankah terus berpuasa, padahal tak percaya Islam? Haus lapar untuk sesuatu yang sia-sia.
Perjuangan mencari Tuhan menemui muara pada 10 hari terakhir Ramadhan. Allah membukakan salah satu mukjizat-Nya, Surat Ar-Rum ayat 2-3. Surat ini turun di Mekkah. Surat yang membuat saya terduduk dan takhluk.
Surat itu mencatat kesedihan Muslim akan kekalahan Romawi terhadap Persia. Allah mengabari bahwa Romawi akan gantian menang melawan Persia dalam hitungan waktu tertentu. Allah juga sampaikan, saat kemenangan Romawi itu, bahagialah Muslim.
(Note: Muslim sedih Romawi kalah karena bagaimanapun kepercayaan penduduk Romawi berasal dari Allah juga, walau mulai berbeda dari ajaran aslinya.)
Saat Muslim menang perang Badar, terdengar kabar Romawi menang melawan Persia. Saat itu Muslim tercengang. Allah sudah mengabari kemenangan ini dahulu di Mekkah...dan ternyata makna 'bahagialah Muslim' tidak sekedar bahagia karena Romawi menang, tapi janji kebahagiaan...dan waktu itu terkait Badar.
Jika satu ayat saja perlu sekian tahun untuk pembuktian kebenarannya, bisa jadi ayat yang lain belum ditunjukkan buktinya. BELUM.
Esoknya minta ijin pada orangtua untuk berjilbab. Saya sudah tahu kewajiban menutup aurat dalam Quran, hanya saja saya saat itu belum meletakkan keimanan pada Islam.
Tentu saja permintaan ijin ini mengejutkan mereka. Anak perempuan yang sering melalaikan sholat, anak yang sering mendebat (tangka kareh angok)...mau berjilbab?
Umak melarang dengan kekuatiran yang sangat manusiawi. Apa ada yang mau menikahi nanti? Bagaimana cari kerja? (Maklum 1989 itu masih jarang yang berjilbab).
Papa mengijinkan jika berjanji akan konsisten. Uda melarang keras dengan kalimat 'Kamu akan merusak citra jilbab nanti'.
Saya kemudian ke pasar, membeli sehelai kain biru langit dan membawa potongan kain itu ke tukang neci. Ketika akan keluar rumah, kain itu dipakai menutup kepala.
Umak luluh dan lalu membelikan bahan seragam serba panjang.
Nah, jilbab ungu ini langsung berpindah tangan saat Uni melihat saya berjilbab pagi itu. Mata Uni berbinar-binar.
Dua jilbab, biru langit untuk baju seragam abu putih, ungu ini untuk seragam pramuka.
Jangan tanya tentang mecing atau enggaknya. Koleksi baju saya saat itu banyaknya celana panjang dan kemeja.
Sudah 30 tahun....
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search